Minggu, 27 Mei 2012

Tulisan Ke-1 Pendidikan Kewarganegaraan

Nama : HENDRICKSON
NPM  : 13410221
Kelas : 2IB02

Beragam Kebudayaan Masyarakat Bekasi Mulai Sirna 
              Saya terdiam sesaat ketika saya tau bahwa fakta itulah yang terjadi saat ini. Seakan lupa dengan jati dirinya, itulah yang kami alami sebagai masyarakat Bekasi. Mengapa saya katakan demikian? Memang itulah fakta yang saya baca dari beberapa sumber dan juga memang itu yang terjadi di kehidupan sekitar saya.
              Masyarakat Bekasi memiliki beragam kebudayaan. Tetapi sekarang, sedikit demi sedikit kebudayan yang dimiliki sudah mulai sirna. Berikut beberapa informasi yang saya dapatkan mengenai hal ini :

1. Gambang kromong terancam punah (sumber: http://jelajahbekasi.com/?p=722#more-722)


              Keberadaan musik Gambang Kromong nyaris punah digerus zaman. Masa keemasannya sudah memudar seiring menjamurnya tradisi pop, seperti organ tunggal dan orkes dangdut. Para pengiatnya sudah renta dimakan usia. Di Kota dan Kabupaten Bekasi, hanya tinggal hitungan jari.
              Padahal Gambang Kromong berasal dari Tiongkok, masuk ke Indonesia pada awal Abad ke-18 bersama para imingran Tionghoa. Awalnya hanya sebuah alat musik gesek bernama Tehyan, Kongahyan dan Sukong. Keberadaannya terus mengalami perubahan bentuk dan percampuran dengan kesenian, Portugis, Melayu, Arab, Sunda dan Jawa. Yakni dengan masuknya gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong.
              Memasuki tahun 1980-an Gambang Kromong mulai mendapat saingan baru dengan masuknya Layar Tancep. Tahun 1990an, kian berat bersaing dengan hadirnya Orkes Dangdut dan Organ Tunggal. Satu persatu, Kelompok Gambang Kromong mulai terpinggirkan. Hanya sedikit diantara mereka yang masih bertahan. Menurut Tjandra (seorang pimpinan Gambang Kromong Irama Bekasi, yang mulai berkecimpung di dunia Gambang Kromong sejak tahun 1970), masalah serius yang dihadapi oleh Gambang Kromong adalah terputusnya mata rantai regenerasi. Para pemainnya saat ini sudah uzur dimakan usia.
              “Anak muda sekarang mana mau belajar Gambang Kromong. Mereka lebih suka main Band”, kata Tjandra dengan raut muka sedih.

2. Shohibul hikayat yang sekarat (sumber: http://jelajahbekasi.com/?cat=14&paged=4)


              Tidak banyak orang tahu jika di Bekasi ada tradisi monolog dengan mengangkat dongeng negeri satu malam. Tradisi itu kini sudah sangat jarang dijumpai. Para pelakunya juga bisa dihitung dengan jari. Orang Bekasi mengenalnya sebagai Shohibul Hikayat.
              Shohibul Hikayat adalah tradisi monolog yang dilakukan oleh satu orang pencerita dibantu dengan satu orang yang bertugas untuk menimpali atau disebut sampiran. Biasanya dipentaskan pada acara-acara hajatan baik khitanan maupun kawinan. Cerita yang diangkat berasal dari dongeng seribu satu malam, yang dimodifikasi dengan memasukkan nilai-nilai lokal Kebekasian. Dongeng dibawakan dengan bahasa Bekasi berdurasi dua jam.
              Seperti yang terlibat dalam pementasan Shohibul Hikayat pada acara hajatan khitanan anak budayawan Bekasi, Abdul Khior baru-baru ini. Khoir mengatakan segaja menghadirkan kembali tradisi Shohibul Hikayat yang saat ini nyaris diambang kepunahan. “Padahal dulu, setiap hajatan orang Bekasi pasti menghadirkan shohibul hikayat. Biasanya dipentaskan pada malam sebelum hajatan. Kalau dulu malah pementasannya sampai pagi,” kata Khior.

3. Topeng Bekasi (sumber: http://jelajahbekasi.com/?cat=14&paged=3)


              Meskipun masih bisa eksis, grup seni topeng yang saat ini hanya tersisa sekitar dua puluhan harus bekerja keras untuk terus mengidupi kelompoknya di tengah persaingan dunia hiburan yang kian merebak dimana-mana. Kini pengemarnya kian menyusut, kebanyakan pengemarnya orang-orang tua “Generasi muda sekarang lebih suka nonton Televisi atau pergi ke bioskop,” ungkap Ali.
              Arus globalisasi yang semakin deras hingga menyusup ke ranah-ranah lokal menyebabkan tata nilai dan kearifan tradisi kian tergerus dan terpinggirkan. Di Bekasi, kesenian Topeng Bekasi kini diambang kepunahan. Padahal, seni topeng Bekasi sempat dipentaskan di tingkat nasional bahkan hingga ke mancanegara seperti Jepang, Rusia, Amerika dan beberapa negara di Eropa.

4. Tanjidor tak lagi nyaring bunyinya (sumber: http://jelajahbekasi.com/?p=718#more-718)


              Tanjidor secara perlahan mulai tergusur dari kancang hiburan rakyat di Bekasi. Terjepit diantara organ tunggal, dangdut, jaipong dan band pop. Mulai ditinggalkan karena dianggap usang dan merepotkan. Tidak lagi ditampilkan dalam kegiatan seremonial pemerintah daerah. Hanya sesekali tampil pada saat bulan syawal pada saat lebaran dan musim hajatan pernikahan, itupun sudah mulai langka. Atau waktu tahun imlek.
              Tanjidor adalah hasil penyerdehanaan orang-orang pribumi terhadap musik orang-orang eropa pada saat masih berkuasa di Indonesia pada abad ke 17. Pada masa awal perkembangannya, Tanjidor adalah hiburan para kaum bangsawan Eropa dan tuan tanah. Kehadirannya berbarengan dengan musik keroncong dan Cokek.

5. Ujungan Tinggal Kenangan (sumber: http://jelajahbekasi.com/?p=707)


              Ujungan adalah seni ketangkasan beladiri menggunakan tongkat yang usianya sangat tua, dari abad ke 7 hingga masa kejayaannya pada abad ke-18 sampai awal abad ke-19. Tidak pasti dari mana asal muasal kesenian ini. Sebab, hampir di semua daerah di Jawa Barat dan Jakarta, mengenal Ujungan meski dengan nama yang berbeda-beda. Di Bekasi sendiri, jejaknya terekam dalam artefak dan gerabah yang ditemukan disekitar situs Buni, Bebelan. Mungkin hanya Ujungan, satu-satunya seni beladiri yang tercatat secara arkeologis.
              Berdasarkan beberapa sumber data yang diperoleh, Ujungan adalah seni beladiri yang diiringi dengan alat musik Samyong, sejenis Gambang yang terbuat hanya dari kayu-kayu sengon kering. Mata gambangnya berjumlah sembilan batang dibuat sedemikian rupa, dengan landasan terbuat dari gedebong pisang dua buah, diletakkan dibawah mata-mata gambang tersebut dan totok (kayu pemukul) terbuat dari bambu sama dengan totok (alat pemukul) ronda malam. Hanya dua benda ini merupakan instrument ujungan tetapi suaranya mengasikan didengar telinga. Lambat laun keberadaanya kemudian digantikan oleh gamelan.
             ”Sampai tahun 80-an, di daerah Babelan dan sekitarnya kita masih bisa menyaksikan Ujungan. Biasanya digelar pada hari-hari besar, seperi pernikahan, perayaan adat dan lainnya. Tapi sekarang nyaris sudah tidak ada” kata Herry salah satu anak  jawara Ujungan.
           Ujungan kini sudah tak ada lagi. Tidak ada upaya dari pemerintah untuk kembali menghidupkan dan melestarikan Ujungan. Sebab, Ujungan pada dasarnya menanamkan semangat sportivitas dan persaudaraan. Selain itu juga memiliki keindahan gerak permainan tongkat dan menjadi lebih syahdu karena diiringi dengan musik. Keberadaan Ujungan saat ini punah tergusur oleh seni bela diri yang di impor dari luar negeri seperti Karate, Taekwondo, Wushu, belakangan ada juga Capoerra dari Brazil.

           Kelima fakta di atas, baru sebagian kecil saja yang saya paparkan. Masih banyak lagi kebudayaan masyarakat Bekasi yang memang mulai sirna dan bahkan telah hilang ditelan zaman modern seperti sekarang ini. Salah satu contoh kebudayaan masyarakat Bekasi yang telah hilang ditelan zaman yaitu Wayang Dundung yang merupakan kesenian asli Bekasi yang pernah ada di daerah Babelan Kabupaten Bekasi, hampir mirip dengan wayang orang di daerah Jawa Tengah.
              Wacana membuat Perda Budaya harusnya kembali dihidupkan dan dikerjakan serius oleh Pemerintah Daerah dan pelaku kebudayaan di Kabupaten Bekasi. Kebudayaan, sekali lagi, tidak hanya digiring ke alam kebendaan dan menjadi program tahunan Pemerintah Daerah.  Atau sebagai usaha menggugurkan kewajiban semata.
              Setidaknya, Perda Kebudayaan ini nantinya bisa menjadi semacam kompas yang bertindak sebagai arah untuk menentukan sikap yang berangkat dari dalil-dalil dan kecerdasan lokal menuju pertempuran di medan global. Perda ini juga akan menjadi pijakan untuk merealisasikan gagasan-gagasan besar kebudayaan di Kabupaten Bekasi.
              Namun tentu tidak mudah mewujudkan hal tersebut. Dibutuhkan dukungan semua pihak  yang juga sama-sama memiliki visi Kebudayaan. Kebudayaan bukanlah ruang pertarungan eksistensi ke-aku-an, tapi kita. Selain itu juga dibutuhkan trobosan yang juga brilyan dengan menghadirkan keutuhan mata rantai sejarah, cara pandang baru kebudayaan, penyajian yang lebih segar dan bisa dinikmati sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu usang dan membosankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar