Senin, 23 Mei 2011

Tulisan Ke-2 (Pengantar Ekonomi & Manajemen 2)

Patenkan Hasil Karya Elektro Guna Selamatkan Perekonomian Indonesia

          Dunia bisnis memang tengah berubah. Kekayaan intelektual kini menjadi mesin ekonomi. Kemampuan bersaing di pasar sangat ditentukan oleh sejauh mana perusahaan mampu melakukan inovasi teknologi dan memiliki sebanyak mungkin paten. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kompetisi antar perusahaan adalah memiliki strategi paten yang tepat. Para manajer perusahaan pun dituntut untuk bisa melihat peta kecenderungan teknologi serta mengembangkan riset yang nantinya akan menciptakan produk baru untuk memperkuat bisnisnya. Microsoft misalnya, kini mengantongi paten yang jumlahnya mencapai 800. Perusahaan pembuat chip Intel meningkatkan jumlah kepemilikan patennya mencapai lebih dari 500 % hanya dalam beberapa tahun. Kini rata-rata ada 300 masyarakat AS setiap harinya datang ke kantor paten untuk mematenkan hasil temuannya.

          Minimnya permintaan paten dari Indonesia, yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan permintaan paten yang datang dari luar negeri, menyebabkan pada tahun 2000 yang sudah memberlakukan TRIP’s, dan tahun 2003 yang akan diberlakukan persetujuan AFTA (ASEAN Free Trade Area), sektor industri di Indonesia akan mengalami hambatan dalam perdagangan bebas di AFTA. Demikian pula hambatan yang lebih besar dapat ditemui mulai tahun 2010 mendatang yang akan diberlakukan persetujuan APEC ( Asia Pacific Economic Cooperative), dan di tahun 2020 untuk keseluruhan negara anggota WTO (World Trade Organization). Dengan diberlakukannya perdagangan bebas, otomatis persaingan pun terbuka secara bebas dan ketat. Untuk menolong industri dalam negeri memasuki era perdagangan bebas itu, perlu kiranya pemerintah meningkatkan perhatiannya terhadap lembaga-lembaga penelitian agar dapat memacu dirinya meningkatkan kualitas penelitian yang berorientasi pada penemuan-penemuan baru yang layak dipatenkan.

          Peningkatan aplikansi permintaan paten dari dalam negeri yang diharapkan oleh Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek sejak diberlakukannya TRIP’s mulai tanggal 1 Januari tahun 2000 minimal adalah 10 % dari jumlah permintaan paten secara keseluruhan (dari dalam dan luar negeri), dan meningkat menjadi 15 % pada tahun 2003. Angka tersebut perlu ditargetkan bersama-sama agar Indonesia tidak mengalami diskriminasi dalam perdagangan internasional. Jika target tersebut tidak tercapai, produk-produk industri yang diperdagangkan oleh Indonesia di pasar internasional akan dicurigai sebagai hasil pelanggaran HaKI. Akibat terburuknya adalah ditolaknya produk-produk Indonesia memasuki pasar negara-negara tertentu di Eropa maupun Amerika. Akibat lainnya adalah kemungkinan Indonesia diharuskan membayar royalti kepada suatu negara yang mengklaim memiliki paten atas jenis produk tertentu yang masuk ke Indonesia.

          Karena sifat dari HaKI adalah tidak kasat mata (intangible), maka sebagai aset harus disempurnakan dokumentasi hukumnya, yaitu dengan mendaftarkan ke instansi yang ditunjuk, untuk Indoensia adalah Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HaKI), Departemen Hukum dan Perundang-Undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam mengurus HaKI, permohonan pendaftaran HaKI dapat disalurkan melalui kantor-kantor wilayah Departemen Hukum dan Perundang-Undangan di ibukota provinsi, namun mekanisme prosesnya tetap dilakukan di pusat. Mengacu pada kondisi saat ini, pelimpahan ini sesuai dengan rencana pembentukan otonomi daerah.

          Langkah strategis yang kini sedang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kesadaran publik tentang arti dan fungsi HaKI sebagai penyangga ekonomi bangsa. Misi pengelolaan HaKI di Indonesia adalah agar kegiatan kreatif yang menghasilkan karya intelektual terus meningkat dan memberikan perlindungan hukum atas karya intelektual tersebut. Sasaran sosialisasi HaKI adalah berbagai lapisan dan kalangan masyarakat. Pemerintah terus berupaya memperbaiki pelayanan kepada masyarakat dengan membangun Sistim Otomasi Terpadu melalui bantuan Bank Dunia.

          Pemerintah melalui Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) juga bertekad untuk meningkatkan pemakaian teknologi temuan para peneliti Indonesia. Tekad tersebut diwujudkan dalam bentuk memberikan subsidi kepada para peneliti yang akan mematenkan hasil penemuannya. Program yang diberi nama “Oleh Paten” ini merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya pemerintah untuk mendayagunakan teknologi baru hasil penemuan peneliti Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian. Biaya pematenan di Indonesia kini adalah sekitar Rp 3 juta, tidak terlalu mahal bila dibandingkan dengan AS yang mencapai antara 4.000-5.000 USD atau setara dengan Rp 32-40 juta untuk kurs 1 USD = Rp 8.000,-. Selama ini banyak peneliti yang tidak mau mematenkan penemuannya karena terbentur faktor biaya.

          KMNRT juga memberikan subsidi kepada Sentra HaKI yang ada di Perguruan Tinggi (PT) atau Lembaga Penelitian (LP) baik negeri maupun swasta. Sentra HaKI adalah semacam badan yang mengurus tahap-tahan pemrosesan untuk mendapatkan paten yang diajukan para penemu. Dengan sentra HaKI ini para peneliti baik di PT maupun LP tidak perlu repot dan susah payah mengurus pematenan penemuannya. Program ini sifatnya adalah stimulus untuk meningkatkan kompetisi para peneliti Indonesia dalam menjual hasil temuannya di pasar global.

          Banyak peneliti belum memahami proses aplikasi paten. Ketidakfahaman itu menjadikan para peneliti merasa sulit dan memerlukan waktu lama dalam memperoleh paten. Banyak peneliti yang mendaftarkan paten tetapi hanya mengirimkan hasil penelitiannya, bukan memenuhi prosedur yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang No. 13 tahun 1997. Proses paten di dalam negeri sebetulnya sudah disesuaikan dengan apa yang harus ditempuh di luar negeri, karena Indonesia sudah menjadi anggota WIPO (World Intelectual Property Organization).

          Perlu diketahui bahwa pemrosesan paten tidak bisa dilaksanakan dalam waktu sekejap. Terhadap permintaan paten yang masuk ke Dirjen HaKI, setelah 18 bulan harus diumumkan terlebih dahulu selama 6 bulan untuk mengetahui apakah ada keberatan dari masyarakat, sehingga terpenuhi unsur transparansi dalam penerbitan sertifikat paten. Permohonan paten dapat diterima atau ditolak dalam tujuh tahun. Sedang untuk paten sederhana, batas waktu maksimalnya adalah 3,5 tahun.

          Dalam era pasar bebas yang bakal dibanjiri oleh produk-produk elektronika berteknologi tinggi ini, para pakar di bidang elektronika sebetulnya memiliki peluang yang sangat besar untuk ikut bermain meramaikan persaingan gobal dengan menciptakan produk-produk inovatif yang dilindungi paten. Bahkan hadiah Nobel bidang Fisika tahun 2000 lalu jatuh ke tangan tiga orang yang berkecimpung dalam pengembangan elektronika, yaitu Jack S. Kilby (penggagas IC) dan duet Zhores I. Alferov-Herbert Kroemer (pengembangan opto-elektronika).

           Data di AS menunjukkan bahwa pada tahun 1972 sekitar 5 % paten baru berhasil dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan kecil yang sebelumnya tidak mengantongi paten sama sekali. Pada tahun 1992, angka itu meningkat menjadi 23 %. Meski perusahaan-perusahaan kecil di AS hanya mengalokasikan 3 % dari jumlah yang dibelanjakan perusahaan-perusahaan besar dalam program litbang, namun kini mereka sanggup mengantongi sekitar 15 % dari semua paten baru. Hal ini berarti bahwa para peneliti bidang elektronika di tanah air tidak perlu takut bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa elektronika dunia yang sudah mengantongi sekian banyak paten dengan produknya yang sudah mendunia. Bagaimanapun sebuah paten memiliki arti yang sangat besar dalam rangka menyelamatkan perekonomian bangsa ini di era pasar bebas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar